Oleh : Ir. Dony Mulyana Kurnia (DMK) – Ketua Umum DPP Barisan Islam Moderat (BIMA)
JAYANTARANEWS.COM, Bandung
Semua orang yang paham demokrasi, tentu saja pemilihan paslon tunggal versus kotak kosong, adalah merupakan tragedi demokrasi. Dan di dunia ini, yang mengatur kotak kosong bisa ikut berdemokrasi, mungkin hanya ada di Indonesia. Dan tentu saja, manakala dunia melihat hal ini, menjadi hiburan tersendiri bagi warga dunia. Jangankan negara-negara demokrasi, bahkan termasuk negara sosialis komunis pun akan mentertawakan Indonesia.
Kotak kosong akan terjadi di Pilkada Jakarta, manakala KIM mampu mengkonsolidir kekuatan KIM plus. Dan kita semua tahu, plus itu adalah Nasdem, PKB dan PKS. Sementara, di daerah-daerah lain sudah terjadi, dimana PKS partai pendukung Anies, mendukung calon dari KIM. Contoh; di Sumut mendukung Bobby, di Jatim mendukung Khofifah, dan di Banten mendukung Andra Soni. Jadi yang tadinya haram pun di dalam politik bisa menjadi halal.
Kocok ulang koalisi partai di dalam Pilkada yang berbeda dengan Pilpres, sebetulnya ini sangat sehat dan produktif untuk meredusir polarisasi akut akibat Pilpres. Karena sesungguhnya, kontrol check & balance bisa dilakukan juga oleh pemerintahan daerah, bukan sekedar legislatif. Dan dengan terjadinya kocok ulang di Pilkada, semua perseteruan politik bisa cair kembali dengan katalisator kepentingan daerah yang berbeda dengan pusat.
Namun semua elemen bangsa sudah harus menyadari kelemahan demokrasi kita. Dimana terjadinya kotak kosong ikut jadi calon. Logikanya sangat naif. Disamping itu, manakala kotak kosong menang, tarohlah Ridwan Kamil yang didukung KIM plus versus kotak kosong, kemudian terjadi keajaiban, kotak kosong menang. Kemudian, sesuai aturan perundang-undangan, siapa yang menjadi Gubernur Jakarta? Aturannya ditunjuk Pj Gubernur oleh Presiden. Kemudian karena Prabowo Presiden nya, tidak ada yang melarang Prabowo menunjuk Pj Gubernurnya Ridwan Kamil.
Kemudian, dari mana akar masalah terjadinya anekdot politik kotak kosong, demokrasi di Indonesia? Semua elemen bangsa yang masih punya nalar untuk memperbaiki sistem demokrasi di Indonesia, harus menyadari, kenyataan kotak kosong ini adalah akibat aturan Parlementary Threshold 20% yang diberlakukan, baik Pilpres ataupun Pilkada. Sehingga sangat sulit mempunyai varian paslon, paling banyak hanya tiga dan empat paslon, banyak yang hanya cuma dua paslon, dan terjadi pula hanya satu paslon lawan kotak kosong.
Seharusnya eksekutif dan legislatif yang akan dilantik menyadari kelemahan ini. Dan satu keniscayaan, jika sadar sistem demokrasi yang sehat, menghapus parlementary threshold 20%, dengan setiap partai yang mempunyai legislatif wajib mempunyai paslon, sehingga potensi paslon yang baik bisa muncul dari partai kecil sekalipun. Koalisi partai hanya dibutuhkan untuk legitimasi 50% plus satu, yang dilakukan pertarungan putaran dua antara ranking satu dan ranking dua yang terjadi pada putaran pertama. Kalau Pilkada dengan kemenangan 30% plus satu juga cukup, dan tidak usah ada putaran dua. Hanya Pilpres yang perlu adanya pemilu dua putaran.
Demikianlah, nalar penyempurnaan demokrasi kita berbicara. Sebentar lagi dunia akan dihibur oleh Indonesia, dimana kotak kosong ikut Pilkada Jakarta. (Red)