HomeNewsAktivis Gerakan Mahasiswa 77/78 Kutuk Kekerasan Aparat & Tuntut Presiden Berhentikan Kapolri

Aktivis Gerakan Mahasiswa 77/78 Kutuk Kekerasan Aparat & Tuntut Presiden Berhentikan Kapolri

Aktivis Gerakan Mahasiswa 77/78 Kutuk Kekerasan Aparat & Tuntut Presiden Berhentikan Kapolri

JayantaraNews.com, Jakarta

Setya Dharma Pelawi, salah satu Aktivis Gerakan Mahasiswa 1977 – 1978 Indonesia, pada Rabu, 25 September 2019 mengirimkan release terkait aksi mahasiswa pada 23 – 24 September 2019 di berbagai kota di Indonesia.

Aksi protes mahasiswa (BEM se Indonesia) dari berbagai perguruan tinggi, dicermati oleh Setya Dharma Pelawi dan 95 rekan lainnya: “ Semuanya relative berjalan dengan baik,” ujar Setya Dharma mewakili rekan-rekannya, dengan alasan –“ Mereka memakai jaket almamater, dan berkelompok sesuai asal perguruan tinggi masing-masing. Ini demi menjaga tidak adanya massa liar yang tidak mereka kenal.”

Lebi lanjut Setya Dharma dan rekannya merasa kecewa atas perlakuan aparat dalam menghadapi massa mahasiswa.  Pembubaran unjuk rasa mahasiswa secara keras dengan semprotan “water canon” dan tembakan gas air mata, dilakukan tanpa adanya pendekatan persuasif. Padahal, para mahasiswa hanya menggunakan ‘hak berkumpul, berserikat dan  menyampaikan pendapat di muka umum’.  “ Itu dijamin undang-undang. Perlakuan aparat saat membubarkan aksi mahasiswa, terkesan sangat arogan dan tidak memberikan kebijakan bernegosiasi secara baik dengan pimpinan aksi mahasiswa,” ujar Setya Dharma.

Lebih dalam menurutnya, perlakuan keras ini cenderung kasar dari aparat, bahkan tidak cukup dengan tembakan “water canon” dan gas air mata — melainkan pula pengejaran secara paksa. “ Saat peserta aksi tertangkap, berlanjut dipukuli dan ditendang. Tak kecuali bagian kepala disasar. Ini dilakukan secara brutal dan tidak beradab. Sejatinya mereka ini calon pemimpin masa depan yang hari-hari ini unjuk peduli terhadap masa depan Ibu Pertiwi. Aparat Polisi tak seharusnya ‘membunuh’ masa depan mahasiswa,” ujarnya.

Masih kata Setya Dharma mewakili keprihatinan dari puluhan rekan-rekannya se Indonesia:” Kami pun pernah mengalami sebagai aktivis mahasiswa melakukan aksi pada era otoriter militer zaman Presiden Soeharto. Meski kampus kami dikepung dan diduduki tentara, namun tidak seorang pun kami mendapat pukulan, tendangan dan keroyokan oleh aparat.”

Lebih lanjut dikatakan para ‘tetua’ Aktivis Gerakan Mahasiswa 1977 – 1978 , rasa kecewa ini justru terjadi pada era demokrasi yang kami perjuangkan melalui Perjuangan Mahasiswa 77/78. Kali ini, aparat Polisi dalam membubarkan setiap aksi mahasiswa, cenderung bersifat represif. Pelaku aksi mahasiswa diperlakukan ibarat bola yang sesukanya ditendang, dipukuli dan malah dikeroyok oleh aparat. Kekerasan yang diperlihatkan bagaikan pasukan fasis, yang membuat rakyat miris dan secara langsung akan menghilangkan rasa simpati rakyat kepada Polisi.

“ Kami berpendapat, bahwa hal tersebut sepenuhnya merupakan tanggungjawab sdr. Tito Karnavian selaku Kapolri. Selanjutnya, Presiden sepatutnya memberhentikan Kapolri,” tegasnya.

Pada akhir pernyataannya, bila Presiden Jokowi melakukan pembiaran, artinya sama saja dengan memelihara kekerasan terhadap rakyatnya. “ Ini artinya Pemerintahan Jokowi akan dinilai sebagai pemerintahan fasis oleh negara lain, khususnya  oleh rakyat Indonesia sendiri,” pungkas Setya Dharma Pelawi mewakili rekan-rekannya se Nusantara. (HS/Red)

Stay Connected
16,985FansLike
2,458FollowersFollow
61,453SubscribersSubscribe
Must Read
Related News