HomeNewsEfek Chain Reaction Narkoba! Bentuk Perang Asimetris Merusak Karakter Bangsa

Efek Chain Reaction Narkoba! Bentuk Perang Asimetris Merusak Karakter Bangsa

Efek Chain Reaction Narkoba! Bentuk Perang Asimetris Merusak Karakter Bangsa

IMG-20190311-WA0432

Oleh: Rully Rahadian

JayantaraNews.com, Jakarta

Kita semua tahu dan sering membaca atau mendengar, bahwa situasi di negeri yang kita cintai ini sedang menghadapi perang asimetris atau juga dikenal dengan istilah Proxy War.

Sebelumnya, mari kita samakan persepsi kita mengenai Perang Asimetris itu sendiri, menurut Dewan Riset Nasional (DRN).

Perang Asimetris adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek astagatra (perpaduan antara Trigatra: geografi, demografi, dan sumber daya alam/SDA, dan Pancagatra: ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya).

Perang asimetris selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang.

Dengan pamahaman yang lebih mengerucut lagi, Perang Asimetris adalah metode peperangan gaya baru secara non militer, tetapi memiliki daya hancur tidak kalah hebat, bahkan dampaknya lebih dahsyat dari perang militer.

Sasaran Perang Asimetris ini ada tiga :

1. Membelokan sistem sebuah negara sesuai arah kepentingan kolonialisme/kapitalisme,
2. Melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyat,
3. Menghancurkan food security (ketahanan pangan) dan energy security (jaminan pasokan dan ketahanan energi) sebuah bangsa, selanjutnya menciptakan ketergantungan negara target terhadap negara lain dalam hal “food and energy security.

Jika kita perdalam lagi khusus kepada pemahaman Perang Asimetris dari sisi Peredaran Narkoba di negeri ini, jelas Indonesia menjadi target aktor Perang Asimetris ini, karena adanya suatu upaya yang terstruktur dan terencana untuk melemahkan bangsa, khususnya generasi muda bangsa ini.

Generasi muda bangsa merupakan harapan dari sebuah bangsa untuk melanjutkan kelangsungan kehidupan bangsa dan negara dengan tumbuhnya para pemimpin muda yang sehat fisik dan mental, cerdas dan mempunyai kemampuan intelektual, serta pribadi yang memiliki kekuatan spiritual.

“Bagaimana kita menjadi bangsa yang kuat jika para pemudanya sudah tercemar oleh Narkoba?”.

Pengaruh Narkoba sangat dahsyat. Dalam ilmu Kimia ada istilah Chain Reaction atau Reaksi Berantai. Pergerakan atom yang terus menerus dan sangat cepat akan menghasilkan ledakan besar yang bisa meluluhlantakan sebuah wilayah yang luas.

Sama dengan peredaran dan penggunaan Narkoba yang bergerak seperti Chain Reaction, dari satu tangan ke tangan lain, berkembang menjadi komunitas, yang kelak akan membengkak menjadi ledakan besar, dan hancurlah bangsa ini.

Jika melihat peta dunia, negara mana yang tidak tertarik akan keseksian Indonesia yang berada di tengah-tengah lintasan maritim yang sangat strategis, kaya akan ragam budaya dan sumber daya alamnya.

Berbagai potensi bisnis begitu menjanjikan dan bukan dalam skala kecil. Sementara itu, bangsa ini sedang mengalami krisis karakter bangsa. Kita sekarang sudah menjadi bangsa yang kering identitas dan karakter.

Sebesar apapun potensi dan sekaya apapun sebuah negara akan aset bangsanya, namun tidak didukung oleh sumber daya manusia yang mumpuni, maka anak bangsa yang selayaknya menjadi tuan atau pemilik aset tersebut, hanya menjadi kuli dari bangsa asing yang mempunyai hak mengelola aset bangsa tersebut.

Kita tidak boleh lagi menutup mata dan bersifat permisif lagi dalam menyikapi hal tersebut. Kekayaan bangsa yang ada harus dimiliki dan dikelola oleh bangsa sendiri. Tapi apakah bisa hal ini terjadi jika generasi mudanya sudah terkontaminasi oleh Narkoba?

Tentunya bangsa lain yang menginginkan kekayaan Indonesia akan berusaha dengan cara apapun juga agar dapat menguasai aset bangsa yang berlimpah ini. Jadi kita tidak perlu takut bangsa ini akan dibumihanguskan secara fiisk. Kita tidak perlu takut dengan serangan militer. Justru yang terjadi saat ini lebih mengerikan dari pada perang fisik yang pernah terjadi selama berabad silam di negeri ini.

Momok yang menghantui bangsa kita salah satunya adalah bahaya Narkoba yang kini terus berkembang seperti cendawan di musim hujan.

Bisa kita bayangkan, bahwa bangsa kita yang selayaknya menjadi pemilik aset dan terus menjaga keberlangsungannya hanya menjadi kuli dari bangsa lain yang mengelolanya, bahkan yang lebih buruk lagi hanya menjadi penonton.
Jika fisik, mental, moral, intelektual dan spiritual bangsa secara kolektif berada pada standar yang baik, tentunya output yang dihasilkan akan baik.

Narkoba digunakan sebagai salah satu metode Perang Asimetris sudah dilakukan sejak dulu. Sejarah juga membuktikan bahwa pergelutan bangsa kita dengan Narkoba merupakan hal yang tidak mudah dan sangat alot untuk dihilangkan secara total.

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa target Pemerintah melalui BNN untuk tahun 2015 mewujudkan Indonesia bebas dari ancaman Narkoba. Namun di tahun 2015, Indonesia belum berhasil mewujudkan Indonesia bebas dari ancaman Narkoba, bahkan Presiden Jokowi menyatakan, bahwa Indonesia Darurat Narkoba.

Jika kita menilik sedikit ke belakang, ada beberapa momen penting dalam sejarah yang melibatkan Narkoba di dalamnya, dan digunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti:
– Tahun 689: Kerajaan Sriwijaya membuat UU mengenai madat yang diambil dari ajaran-ajaran Tibet dan Cina.
– Tahun 1360: Raja Hayam Wuruk dan Patih Gadjah Mada meminta Empu Prapanca menulis tentang candu dalam buku Negara Kertagama,
– Tahun 1677: Perjanjian antara VOC dengan Sultan Amangkurat II dari Mataram mengenai penjualan tekstil dan opium yang menjadi monopoli Belanda.
– Tahun 1678: VOC mengimpor 67.444 pon (1 pon = 0,454 Kg/ 30.619,58 Kg) candu Benggala, yang merupakan lima kali jumlah sebelumnya. Konsumsi rata-rata di Jawa per tahun adalah 113.000 pon (51.302 Kg) candu.
– Tahun 1681: VOC membuat perjanjian monopoli candu dengan Sultan Cirebon.
– Tahun 1682: VOC membuat perjanjian monopoli candu dengan Sultan Banten.

Selain hal tersebut, upaya untuk membatasi dan menekan pertumbuhan Narkoba pun pernah dilakukan dalam sejarah bangsa kita seperti:
– Tahun 1742: Sunan Paku Buwono melarang keturunannya menggunakan candu setelah mengalami kekalahan dalam pemberantasan. Sunan adalah orang yang menggemari candu tetapi kemudian berhenti.
– Tahun 1779: Candu di Bengkulu diawasi penjualan dan pemakaiannya oleh John Marsden.
–  Tahun 1803: Gerakan Padri di Minangkabau sebagai gerakan pemurnian ajaran Islam, antara lain mengecam penggunaan candu, arak, tembakau dan pinang.
–  Tahun 1810: Paku Buwono IV menulis buku tentang Wulang Reh yang antara lain berisi petuah mengenai buruknya candu.
–  Tahun 1811: John Marsden melaporkan pemakaian ganja di Aceh, juga mengenai pemakaian candu Benggala, serta penggunaan pinang dan sirih oleh kaum bangsawan.
– Tahun 1817: Raffles mengamati kebiasaan menggunakan sirih, pinang, tembakau, dan gambir sebagai stimulan pada berbagai lapisan masyarakat Jawa. Minuman keras (Badek, Brem, Ciu, Arak Api) dan kebiasaan menghisap candu juga dilaporkan.
– Tahun 1824: Seluruh Keresidenan di Jawa memiliki perkebunan candu, kecuali Banten dan Priangan yang dinyatakan daerah bebas candu.
– Tahun 1889: Raden Ajeng Kartini menulis surat kepada Stella Zeenhandelaar, mengenai kebiasaan buruk menghisap candu pada bangsanya.
– Tahun 1898: Elout Van Soeterwoude membentuk Ikatan Anti Opium, yang menentang Opiummacht. Ikatan terdiri atas istri pejabat, rohaniawan, jurnalis, pengacara, dan ilmuwan di Belanda maupun Hindia Belanda.

Soeterwoude juga menulis buku De Opiumvloekop Java (Kutukan Candu di Jawa).
– Tahun 1904: Bubuk dan pil candu yang diselundupkan dari China dijual di Jawa sebagai pengobatan anti candu.
– Tahun 1907: Perubahan sosial Hindia Belanda menyebabkan candu dianggap kuno oleh Priyayi, Peranakan China membuat kampanye anti candu, di Surabaya dilakukan pengobatan anti opium untuk 700 orang, di Buleleng ada klinik ketagihan opium dikelola dukun-dukun setempat.
– Tahun 1908: Boedi Oetomo menganjurkan agar Bumi Putera Jawa tidak menghisap candu.
– Tahun 1910: Boedi Oetomo menganjurkan permohonan untuk ikut serta dalam kampanye pendidikan anti opium pada Pemerintah Hindia Belanda (permintaan ditolak).
– Tahun 1916: Damste ahli sastra berkebangsaan Belanda menulis Een Atjeh Anti Opium Gedict, yang merupakan terjemahan sebuah hikayat Aceh yang menentang pemakaian candu.
– Tahun 1928: Pemerintah Hindia Belanda secara resmi memperkirakan ada satu penghisap candu diantara tiap 600 jiwa penduduknya Jawa. Suatu penurunan dibandingkan tahun 1880 dimana ada satu pecandu diantara tiap 20 orang penduduk.

Sejak pemerintah Republik Indonesia berdiri dan melewati masa sibuk dalam pembenahan sistem ketatanegaraan, Narkoba mulai lagi mendapat perhatian dari para penyelenggara negara, seperti: – Tahun 1962: Menteri Kesehtan RI mengeluarkan dua surat keputusan, yang menghasilkan dua buah daftar obat-obatan yang terkenal dengan nama Daftar O dan Daftar G.
– Tahun 1969: Kasus remaja ketergantungan obat yang berobat pada seorang psikiater untuk pertama kalinya di Indonesia.
– Tahun 1970: Terdapat kurang lebih 400 kasus ketergantungan obat di Rumah Sakit di Indonesia.
– Tahun 1971: Presiden RI mengeluarkan Inpres No 6 Tahun 1971 tentang Badan Koordinasi Pelaksanaan (BAKOLAK) yang bertugas mengkoordinasikan penanggulangan antara departemen terhadap masalah bahaya penyalahgunaan Narkotika dan beberapa masalah lainnya.

Menteri Kesehatan RI mengeluarkan SK No 1983 dan 10381 mengenai penetapan bahan Narkotika. Ditemukan 2000-3000 kasus ketergantungan obat di Rumah Sakit Indonesia.
– Tahun 1972: Lembaga Ketergantungan Obat didirikan Pemerintah RI untuk menanggulangi kasus-kasus ketergantungan obat.
– Tahun 1976: Pemerintah RI mengeluarkan UU No 8 Tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan UU No 9 mengenai Narkotika.
– Tahun 1984: Menteri Sosial memperkirakan adanya 80.000 orang penyalahgunaan obat di Indonesia.
– Tahun 1985: Menteri Kesehatan RI membatasi peredaran beberapa obat Psikotropika melalui Peraturan Menteri No 213/Menkes/Per/IV/1985.
– Tahun 1997: Pemerintah mengesahkan UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan konvensi PBB, tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 dan UU No 8 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika Tahun 1971 serta UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan SK No 272 Tahun 1997 tentang Penyempurnaan Bakolakda Penanggulangan Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika serta zat adiktif lain di wilayah DKI Jakarta.
– Tahun 1999: Presiden RI mengeluarkan Keppres No 116 Tahun 1999 tentang Badan Koordinasi Narkotika Nasional. Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan INGUB No 231 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif lainnya (NAZA) di wilayah DKI Jakarta

– Tahun 2002: Presiden RI mengeluarkan Keppres No 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional.
– Tahun 2002: tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif lainnya.
– Tahun 2009: Pemerintah mengeluarkan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
– Tahun 2013: Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri No 21 Tahun 2013 tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika.

Dari uraian permasalahan penyalahgunaan Narkoba dari masa ke masa, dapat kita ketahui bahwa penyalahgunaan Narkoba telah terjadi sejak zaman kerajaan yang dijadikan sebagai awal penghancuran karakter bangsa.

Tentunya kita tidak hanya bisa hanya mengutuk dan berteori saja dalam menyikapi situasi Perang Asimetris yang menyangkut Narkoba. Jelas Narkoba merupakan ancaman paling tinggi dari beberapa bentuk ancaman Perang Asimetris yang mengancam bangsa ini.

Jika ancaman-ancaman lain yang bersifat ideologis merusak pola pikir, Narkoba jauh lebih jahat karena tidak saja pola pikir yang rusak, melainkan rusaknya fisik, mental dan spiritual anak bangsa.

Pembenahan kerusakan akibat Narkoba jauh lebih kompleks dalam perehabilitasiannya, karena banyak membutuhkan kerjasama interdisiplin ilmu seperti kedokteran, psikologi, agama dan lain sebagainya.

Cara penanganan korban akibat penggunaan Narkoba tentunya sudah ada yang benar-benar paham dan menjadi spesialis di bidangnya. Namun konteks pembahasan dalam artikel ini adalah mengenai pergerakan konstelasi Narkoba dalam Perang Asimetris. Tentu saja membutuhkan pemahaman yang lebih mengarah kepada pembinaan mental ideologi, sehingga generasi muda kita paham dan sadar, bahwa Narkoba merupakan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan bagi bangsa kita.

Mengingat konsep Perang Asimetris ini adalah untuk melemahkan karakter bangsa, maka tindakan antisipatif yang harus dilakukan sejak usia dini, dimana anak-anak masih merupakan lembaran kertas putih yang siap ditulisi. Tuliskan kata-kata indah dan baik, dengan hati-hati jangan sampai ada bercak atau noda tinta yang mengotori kertas putih tersebut. Salah satunya tulisi kertas putih tersebut dengan kata-kata yang mempunnyai makna anti kepada Narkoba, menyatakan perang terhadap Narkoba, mengharamkan penggunaan Narkoba, dan lain sebagainya, sebagai suatu bentuk rasa cinta dan tanggung jawab kepada bangsa dan negara.

Tidak saja kepada anak-anak, pemahaman bahwa Narkoba adalah ancaman serius terhadap bangsa harus disosialisasikan kepada orang dewasa dari berbagai disiplin ilmu dan profesi. Masih banyak para profesional, birokrat, bahkan para penegak hukum pun menjadi pengguna Narkoba. Artinya, kesadaran di kalangan orang dewasa yang terpelajar sekalipun bukan merupakan jaminan sudah melekat di dalamnya.

Perlu dibangun sebuah strategi yang bersifat nasional dan terintegrasi, untuk melakukan diseminiasi kepada masyarakat dengan materi, bahwa Narkoba adalah salah satu bentuk pelemahan karakter bangsa.

Kita yang sedang krisis karakter bangsa akan semakin terpojok, karena desakan dari Chain Reaction pergerakan Narkoba terus semakin kencang dan membengkak, hanya tinggal menunggu waktu meledak dan menghancurkan bangsa ini.

Perlu dibangun fondasi kekuatan karakter bangsa dengan pemahaman, bahwa bangsa yang berkarakter dan menjaga identitasnya, akan selalu menjaga komitmen dan akan menjaga bangsa ini dari ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan.

Intinya, menjauhi penggunaan Narkoba dengan menjadikan Narkoba musuh yang nyata bukan hanya melindungi diri dari pengaruh buruknya, melainkan melindungi bangsa dan negara ini dari kehancuran.

Indonesia adalah negara yang mempunyai budaya adiluhung. Kemajuan bangsa Nusantara ketika Kerajaan-kerajaan di Nusantara masih berdiri terbukti karena dasar memegang teguh kearifan lokal. Karakter bangsa Nusantara masih melekat pada diri pribadi masing-masing masyarakatnya, hingga terproyeksi kepada karakter kolektif, sehingga masing-masing kerajaan tersebut mempunyai kekuatan secara lokal, namun bersifat terbuka kepada pengaruh asing yang masuk melalui jalur perdagangan. Kelokalan mereka tetap hidup meski terjadi akulturasi budaya dari sana sini. Sangat berbeda ketika bangsa ini sudah dijajah bangsa asing dan telah diadu domba, hilanglah karakter bangsa Nusantara, sehingga kearifan lokal yang menjadi filter semakin tipis tergerus, masuklah pengaruh asing secara utuh, sehingga dengan mudah diserap dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Barangkali pengaruh seni, profesi, kuliner, dan lain sebagainya bisa diserap secara baik, dan sangat memungkinkan untuk dibuat saringan atau filter dalam mengakomodirnya. Namun yang dinamakan Narkoba sudah tidak ada istilah filter atau cara lain agar bisa diterima dalam masyarakat lokal.

Narkoba mutlak harus ditolak dan dilawan. Disitulah dibutuhkan pemahaman yang serius dalam membangun karakter bangsa. Bangsa yang berkarakter santun, cerdas, tegas, berani dan jujur, serta mempunyai orientasi ke depan dalam menjaga bangsa ini. Demikian, semoga bermanfaat!

Penulis adalah Wakil Ketua Umum PWOIN Perkumpulan Wartawan Online Independen Nusantara dan Ketua Lembaga Konservasi Budaya Indonesia.

Stay Connected
16,985FansLike
2,458FollowersFollow
61,453SubscribersSubscribe
Must Read
Related News